Kalau mendengar kata Semarang, banyak orang langsung membayangkan kota pelabuhan, pusat bisnis, atau kawasan perumahan yang padat. Namun, di balik gemerlap kota, sektor pertanian, peternakan, dan perikanan masih berdenyut—meski pelan, tapi terus bertahan. Inilah wajah lain Semarang yang jarang dibicarakan, tapi punya peran penting dalam menjaga ketahanan pangan warganya.
Kondisi Geografis dan Distribusi Sektor Primer
Semarang itu unik. Dari pesisir, dataran rendah, hingga perbukitan, semua ada dalam satu kota. Pola geografis ini membentuk distribusi sektor primer yang khas:
- Kawasan Pesisir (Genuk, Kaligawe, Tambaklorok)
Tambak bandeng, udang, dan kepiting masih bertahan di lahan yang kian terdesak industri dan reklamasi. - Wilayah Tengah Kota (Semarang Tengah, Gajahmungkur, Gayamsari)
Lahan pertanian hampir habis, tapi pertanian kota tetap hidup lewat urban farming, kolam ikan pekarangan, dan ternak rumahan. - Perbukitan Selatan (Gunungpati, Banyumanik, Mijen)
Sayuran daun, cabai, hingga buah musiman masih ditanam di lereng. Kambing dan ayam dipelihara banyak keluarga. - Suburban Berkembang (Ngaliyan, Tembalang, Tugu)
Lahan tadah hujan dipakai untuk hortikultura, kolam terpal, dan kandang komunal. Cocok untuk pertanian terpadu. - Daerah Aliran Sungai dan Rawa-Rawa
Lele dan nila dibudidayakan di bantaran sungai. Meski kualitas air sering jadi masalah, lahan ini tetap dimanfaatkan warga.
Pertanian Perkotaan: Tren Baru di Semarang
Urbanisasi di Semarang membuat lahan makin sempit, tapi bukan berarti pertanian mati. Justru dari keterbatasan ruang, lahir inovasi baru:
- Urban farming pekarangan: Cabai, tomat, dan kangkung tumbuh di ember atau rak bertingkat di depan rumah.
- Hidroponik dan vertikultur: Populer di gang sempit Semarang Tengah, dengan pipa paralon jadi media tanam.
- Komunitas tani kota: RW memanfaatkan lahan tidur jadi kebun bersama. Hasilnya dibagi atau dijual di lingkungan.
- Kebun sekolah: Anak-anak belajar menanam sekaligus mengenal keberlanjutan sejak dini.
- Pemanfaatan ruang hijau publik: Taman kota ditanami sayur atau tanaman obat sebagai bagian dari ketahanan pangan lokal.
Tantangan Bertani dan Beternak di Semarang
- Lahan menyempit akibat pembangunan perumahan dan industri.
- Kenaikan harga tanah membuat petani sulit mempertahankan lahan.
- Kualitas lingkungan (banjir rob, polusi, dan kualitas air sungai) memengaruhi produktivitas.
- Regenerasi petani menurun, karena banyak anak muda memilih bekerja di sektor non-pertanian.
Peluang yang Masih Bisa Dikembangkan
Meski penuh tantangan, peluang sektor ini tetap besar:
- Hortikultura pekarangan: Bisa memenuhi kebutuhan pangan keluarga sekaligus mengurangi pengeluaran.
- Peternakan komunitas: Kandang komunal ayam atau kambing di pinggiran kota bisa menopang ekonomi warga.
- Budidaya inovatif: Kolam lele bioflok atau aquaponik mulai banyak diadopsi dan terbukti efisien.
- Kolaborasi kota-desa: Permintaan pangan Semarang bisa jadi peluang bagi daerah sekitar yang punya lahan lebih luas.
Pertanian, Hunian, dan Masa Depan Kota
Pertanian dan peternakan di Semarang bukan sekadar cerita sektor primer. Ia terhubung dengan ruang hidup warganya. Urban farming memberi alternatif pangan, peternakan rumahan menambah penghasilan, dan kebun komunitas memperkuat ikatan sosial. Semua ini jadi penyeimbang di tengah laju urbanisasi.
Bagi Athalia Construction, memahami dinamika ini penting. Karena rumah yang ideal bukan hanya berdiri kokoh, tapi juga berada di lingkungan yang bisa mendukung kehidupan sehari-hari termasuk akses pangan lokal. Hunian yang berpadu dengan keberlanjutan adalah investasi masa depan kota Semarang.